Sejarah Perkembangan Aplikasi SLiMS

Sejarah SLiMS- Jika belajar ilmu perpustakaan, DDC merupakan kitab wajib yang dipelajar, untuk automasi SLiMS adalah aplikasi wajib yang dipelajari. Sebelum Kamu mempelajari slims, baca dulu sejarah lengkapnya melalui artikel ini.

Dalam artikel ini Kami akan membahas secara lengkap perkembangan automasi perpustakaan slims dari tahun ke tahun.

1. Asal mula SLiMS Lahir
2. Apakah SLiMS Berbayar?
3. Rilis SLiMS Versi pertama 1.0 ke Publim Codename Senayan.
4. Perkembangan SLiMS sampai hari ini (Disertasi Screenshot Aplikasi)
5. Fitur dari SLiMS


Apa itu Aplikasi Senayan / SLiMS


SLiMS merupakan aplikasi open source yang dilisensikan di bawah GPL v3 dan merupakan asli karya anak bangsa. Aplikasi SLiMS saat ini mempunyai peran penting dalam perkembangan dunia perpustakaan baik di Indonesia bahkan sudah dipakai institusi beberapa negara.

Aplikasi SLiMS, walaupun terbilang aplikasi baru, namun pada tahun 2009 sudah memenangi INAICTA 2009 untuk kategori open source.

Dokumentasi Malam anugerah INAICTA 2009 sumber : slims.web.id

Developers SLiMS (Senayan Developer Community)


Programmer:

Arie Nugraha, Hendro Wicaksono, Tobias Zeumer, Wardiyono, Indra Sutriadi, Eddy Subratha, Waris Agung Widodo

Documentation:

Purwoko, Arif Syamsudin, Hendro Wicaksono, Muhammad Rasyid Ridho, Sulfan Zayd, Wardiyono

Senayan Developer Community

Translator:
Germany: Tobias Zeumer,  Arabic: Rasyid Ridho, Bounama Kouider Thai: Prasitichai เรารักในหลวง, Persian: Mohammad Javad Mansourzadeh, Malay: Jerry Mohd. Arif, Brazilian Portuguese:, Spain: Jhon Urrego Felipe Mejia (ingenierofelipeurrego@gmail.com), Bengali: A. K. M. Nurul Alam (Apu)

Contribution:
Gettext support: Tobias Zeumer, Membercard modification: Jushadi, English documentation: Jim Richardson, OAI Support for Indonesia One Search: Ismail Fahmi


1. Asal Mula Lahirnya SLiMS.

Awal SLiMS ini muncul bermula dari perpustakaan di Inggris yaitu  The British Council  yang  sudah beroperasi selama kurang lebih 50 tahun menutup layanannya. Selanjutnya  The British Council menghibahkan pengelolaan aset perpustakaanya pemerintah. Saat itu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas sekarang disebut Kemendikbud), termasuk aplikasi manajemen perpustakaan yang disebut Alice.

Seiring dengan berjalannya waktu, manajemen Perpustakaan Depdiknas mulai menghadapi beberapa kendala dalam penggunaan sistem Alice, diantaranya : 

1.  keterbatasan dalam menambahkan fitur-fitur baru. Antara lain: kebutuhan manajemen serial, meng-online-kan katalog di web dan kustomisasi report yang sering berubah-ubah kebutuhannya. Penambahan fitur jika harus meminta modul resmi dari developer Alice, berarti membutuhkan dana tambahan yang tidak kecil. Apalagi tidak ada distributor resminya di Indonesia sehingga harus mengharapkan support dari Inggris. Ditambah lagi beberapa persyaratan yang membutuhkan infrastruktur biaya mahal seperti dedicated public IP agar bisa meng-online-kan Alice di web.

Saat itu untuk mengatasi sebagian kebutuhan (utamanya kustomisasi report), dilakukan dengan ujicoba mengakses langsung database yang disimpan dalam format DBase. Terkadang berhasil terkadang tidak karena struktur datanya proprietary dan kompleks serta jumlah rekodnya banyak. Untuk mempelajari struktur database, dicoba melakukan kontak via email ke developer Alice. Tetapi tidak ada respon sama sekali.

2. Sulitnya mempelajari lebih mendalam cara kerja perangkat lunak Alice. Karena Alice merupakan sistem proprietary yang serba tertutup, segala sesuatunya sangat tergantung vendor. Dibutuhkan sejumlah uang untuk mendapatkan layanan resmi untuk kustomisasi.

Perpustakaan Depdiknas salah satu tupoksinya adalah melakukan koordinasi pengelolaan perpustakaan unit kerja dibawah lingkungan Depdiknas. Dalam implementasinya, seringkali muncul kebutuhan untuk bisa mendistribusikan perangkat lunak sistem perpustakaan ke berbagai unit kerja tersebut. 

3. Sulit (atau tidak mungkin) untuk melakukan redistribusi sistem Alice. Alice merupakan perangkat lunak yang secara lisensi tidak memungkinkan diredistribusi oleh pengelola Perpustakaan Depdiknas secara bebas. Semuanya harus ijin dan membutuhkan biaya.

Permasalahan bukan hanya soal fitur karena pada bulan November 2006 sistem Alice tiba-tiba menjadi tidak dapat digunakan. Dan ditemukan fakta bawa ternyata sistem Alice yang digunakan selama ini menerapkan sistem sewa. Yang artinya setiap tahun pengguna harus membayar kembali untuk memperpanjang masa sewa.

Dengan sistem sewa artinya, jika tidak dibayar karena lupa atau tidak ingin berlangganan lagi maka perpustakaan akan kehilangan akses terhadap semua informasi koleksi perpustakaan yang tersimpan dalam aplikasi tersebut. Ini sama halnya dengan bunuh diri untuk terus bergantung pada sistem berlisensi seperti itu.

Melalui beberap masalah tersebut, akhirnya pengelola Perpustakaan Depdiknas me-review kembali penggunaan sistem Alice di perpustakaan Depdiknas. Ada beberapa poin penting review terhadap aplikasi tersebut yaitu: 

1.  Alice memang handal (reliable), tapi punya banyak keterbatasan. Biaya sewanya memang relatif murah, tetapi kalau membutuhkan support tambahan, baik sederhana ataupun kompleks, sangat tergantung dengan developer Alice yang berpusat di Inggris. Butuh biaya yang kalau di total juga tidak murah. 
 
2. Model lisensi proprietary yang digunakan developer Alice tidak cocok dengan kondisi kebanyakan perpustakaan di Indonesia. Padahal pengelola Perpustakaan Depdiknas sebagai koordinator banyak perpustakaan di lingkungan Depdiknas, punya kepentingan untuk bisa dengan bebas melakukan banyak hal terhadap software yang digunakan. 
 
3.    Menyimpan data penting dan kritikal untuk operasional perpustakaan di suatu software yang proprietary dan menggunakan sistem sewa, dianggap sesuatu yang konyol dan mengancam independensi dan keberlangsungan perpustakaan itu sendiri. 
 
4.  Alice berjalan diatas sistem operasi Windows yang juga proprietary padahal pengelola Perpustakaan Depdiknas ingin beralih menggunakan Sistem Operasi open source (seperti GNU/Linux dan FreeBSD). 
 
5.   Masalah devisa negara yang terbuang untuk membayar software yang tidak pernah dimiliki. 
 
6.  Intinya: pengelola Perpustakaan Depdiknas ingin menggunakan software yang memberikan dan menjamin kebebasan untuk: menggunakan, mempelajari, memodifikasi dan melakukan redistribusi. Lisensi Alice tidak memungkinkan untuk itu.

Adanya keinginan untuk hijrah menggunakan sistem yang lain, maka langkah berikutnya adalah mencari sistem yang ada untuk digunakan atau mengembangkan sendiri sistem yang dibutuhkan. Beberapa pertimbangan yang harus dipenuhi:

• Dirilis dibawah lisensi yang menjamin kebebasan untuk: menggunakan, mempelajari, memodifikasi dan melakukan redistribusi. Model lisensi open source (www.openosurce.org) dianggap sebagai model yang paling ideal dan sesuai. 
 
•    Teknologi yang digunakan untuk membangun sistem juga harus berlisensi open source. 
 
•  Teknologi yang digunakan haruslah teknologi yang relatif mudah dipelajari oleh pengelola perpustakaan Depdiknas yang berlatarbelakang pendidiknas pustakawan, seperti PHP (scripting language) dan MySQL (database). Jika tidak menguasai sisi teknis teknologi, maka akan terjebak kembali terhadap ketergantungan pada developer.

Langkah berikutnya adalah melakukan banding software sistem perpustakaan open source yang bisa diperoleh di internet. Beberapa software yang dicoba antara lain: phpMyLibrary, OpenBiblio, KOHA, EverGreen
Baca juga : Aplikasi Open Source Untuk Manajemen Koleksi Perpustakaan
Pengelola perpustakaan Depdiknas merasa tidak cocok dengan software yang ada, dengan beberapa alasan:

1.   Desain aplikasi dan database yang tidak baik atau kurang menerapkan secara serius prinsip-prinsip pengembangan aplikasi dan database yang baik sesuai dengan teori yang ada (PHPMyLibrary, OpenBiblio).  
 
 2.    Menggunakan teknologi yang sulit dikuasai oleh pengelola perpustakaan Depdiknas (KOHA dan EverGreen dikembangkan menggunakan Perl dan C++ Language yang relatif lebih sulit dipelajari). 
 
3.  Beberapa sudah tidak aktif atau lama sekali tidak di rilis versi terbarunya (PHPMyLibrary dan OpenBiblio).

2. Apakah SLiMS Berbayar? 

SLiMS dikembangkan dengan General Public License sehingga software tersebut dapat digunakan, dipelajari, diubah, dan didistribusikan ke pihak lain secara bebas. Lalu darimana developer slims mendapatkan penghasilan?

Para developer mendapatkan penghasilan dari menjadi narasumber-narasumber pengenalan slims, instalasi dan pengembangan fitur khusus slims di berbagai instansi.


2. Rilis SLiMS Versi pertama 1.0 ke Publim Codename Senayan.

Akhirnya mas Hendro Wicaksono sebagai Application & Database Designer juga programmer serta Arie Nugraha sebagai programmer utama membuat aplikasi slims pertama.

Mas Hendro lantas mengusulkan ke Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, yang memayungi perpustakaan di departemen itu, untuk membuat program baru sebagai pengganti Alice. ”Karena awalnya dikembangkan dengan uang negara, harus bisa diperoleh secara bebas oleh masyarakat,” katanya.

Setelah melakukan kajian dengan perbandingan diantara beberapa software pada akhirnya tidak menemukan sistem yang dibutuhkan, maka diputuskan untuk mengembangkan sendiri aplikasi sistem perpustakaan yang dibutuhkan. Dalam dunia pengembangan software, salah satu best practice-nya adalah memberikan nama kode (codename) pengembangan. Nama kode berbeda dengan nama aplikasinya itu sendiri. Nama kode biasanya berbeda-beda tiap versi. Misalnya kode nama “Sierra” untuk macOS 10.12 dan “Catalina” untuk macOS 10.15. 

Kode awal (1.0) diberi nama kode "Senayan". Alasannya sederhana, karena awal dikembangkan di perpustakaan Depdiknas yang berlokasi di Senayan. Apalagi Perpustakaan Depdiknas mempunyai brand sebagai library@senayan. Belakangan karena dirasa nama “Senayan” dirasa cocok dan punya nilai marketing yang bagus, maka nama “Senayan” dijadikan nama resmi aplikasi sistem perpustakaan yang dikembangkan..

Senayan dirancang sesuai dengan standar pengelolaan koleksi perpustakaan, misalkan standar pendeskripsian katalog berdasarkan ISBD (Internasional Standard Book Description) yang juga sesuai dengan aturan pengatalogan Anglo-American Cataloging Rules. Standar ini umum dipakai di seluruh dunia. ”Karena yang mengembangkan adalah para pustakawan, kami berani menjamin bahwa aplikasi ini sesuai dengan standar yang dibutuhkan pustakawan di dalam dunia kerjanya,” kata Hendro.

Untuk mengembangkan Senayan, Hendro dan Arie mengajak anggota di mailing list ISIS (ics-isis@yahoogroups.com)—kelompok diskusi para pustakawan pengguna perangkat lunak manajemen perpustakaan milik UNESCO—bergabung. Beberapa pustakawan lain menanggapi rencana mereka, bahkan turut membantu mengembangkan peranti lunak itu.

Jadilah Senayan versi beta yang hanya beredar di kalangan pustakawan di kelompok diskusi itu. Merekalah yang menguji dan kemudian memperbaiki bolong-bolong dalam program tersebut. Akhirnya, setelah program itu dirasa cukup stabil, Senayan dirilis ke publik pada November 2007, bertepatan dengan ulang tahun Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional yang ketiga.

Sebenarnya Senayan belum sempurna saat itu, tapi Hendro merasa bahwa program ini harus segera digunakan, terutama agar pustakawan di kantornya terbiasa dengan program baru ini dan mempercepat migrasi dari Alice. ”Semula kami pakai program Senayan dan Alice secara bersamaan, tapi ketika pengunjung sedang ramai, para pustakawan cenderung memakai Alice. Akhirnya kami matikan Alice sama sekali, dan mereka terpaksa hanya memakai Senayan,” kata Hendro.

Seperti yang mereka perkirakan sebelumnya, beberapa kegagalan terjadi ketika program itu dijalankan. Arie, yang bertugas menjaga kelancaran migrasi itu, mendapat keluhan bertubi-tubi dari para pengguna dan harus langsung memperbaiki program itu. ”Bugs (gangguan pada program) memang masih banyak pada program awal ini,” kata Arie, yang kini menjadi dosen teknologi informasi di almamaternya, Universitas Indonesia.

Tiga bulan berikutnya, Hendro mengundang beberapa pustakawan yang aktif di mailing list ISIS untuk menghadiri Senayan Developer’s Day—acara perekrutan tenaga pengembang program itu. Dari acara tersebut, terpilihlah empat nama: Purwoko, pustakawan Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Wardiyono, programer sebuah organisasi lingkungan; Sulfan Zayd, pustakawan di Sekolah Mentari; dan Arif Syamsudin, pustakawan di Sekolah Internasional Stella Maris.

Selama tiga hari para pustakawan terpilih itu berkumpul dan berkonsentrasi dalam penambahan fitur, perbaikan, dan pembaruan dokumen Senayan. Hasilnya, mereka meluncurkan Senayan versi yang lebih stabil dan dokumen program. Maret tahun berikutnya mereka berkumpul kembali dengan kegiatan yang sama.

Belakangan, mereka mendapat bantuan dari Tobias Zeumer, programer di Jerman. Zeumer mengganti program multibahasa Senayan dengan PHP Gettext, standar program multibahasa di lingkungan peranti lunak sistem terbuka. ”Dia peduli pada pengembangan Senayan dan salah satunya adalah menambahkan fitur bahasa Jerman pada Senayan,” kata Hendro.

Selain terus memperkaya Senayan, tim pengembang terus membuat paket program untuk memudahkan pemasangan. Paket yang disebut Portable Senayan (psenayan) ini berisi program Senayan, Apache (program untuk server), PHP, dan MySQL. Pengguna tinggal mengopi, mengekstrak, dan langsung menggunakannya pada komputer atau server masing-masing.

Ketika dirilis pertama kali, Senayan baru diunduh 704 kali. Angka ini melonjak menjadi 6.000 kali lebih pada Desember 2007 dan 11 ribu lebih Januari 2008. Adapun pada Oktober lalu program itu sudah diunduh hampir 27 ribu kali. Dengan demikian, total sudah 250 ribu kali lebih program itu diunduh.

Karena dapat diunduh secara bebas, Hendro dan kawan-kawan tak tahu persis berapa banyak pengguna aplikasi ini. Tapi sedikitnya ada sekitar 218 perpustakaan dan lembaga lain yang mengaku memakai Senayan, seperti Pusat Studi Jepang UI, Perpustakaan Kedokteran Tropis UGM, Sekolah Indonesia-Kairo di Mesir, Perpustakaan Indonesian Visual Art Archive, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Rumah Sakit M.H. Thamrin Cileungsi, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, serta Perpustakaan Umum Kabupaten Pekalongan, Perpustakaan Universitas Andalas, Perpustakaan Universitas Dharma Andalas, Perpustakaan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Perpustakaan Poltekes, Stikes Hangtuah, Perpustakaan seluruh UPT dibawah Kemendikbudristek (ex BPMP, Kantor Bahasa)

Senayan kini sudah berkembang jauh. Ia tak hanya menampilkan data buku, tapi juga dapat menampilkan gambar, suara, buku elektronik, dan bahkan video. Hendro dan timnya juga sedang mengembangkan agar setiap server pengguna Senayan dapat saling ”bicara”, sehingga nanti dapat dibangun sebuah gerbang pencarian data buku dalam jaringan yang dapat menelusuri semua katalog. ”Nanti akan ada sebuah gerbang agar pencarian buku cukup melalui satu situs saja,” kata Arie.

3. Perkembangan SLiMS sampai hari ini

SLiMS Version

    13 Maret 2008 Portable Senayan 3.0 (based on senayan3 stable1)
    21 Maret 2008 Portable Senayan 3.1 (based on senayan3 stable2)
    24 Maret 2008 Portable Senayan 3.2 (based on senayan3 stable3)
    1 Juni 2008 Portable Senayan 3.3 (based on senayan3 stable4)
    18 Agustus 2008 Portable Senayan 3.4 (based on senayan3 sta ble5)
    21 Septemb er 2008 Portable Senayan 3.5 (based on senayan3 stable6)
    13 Januari 2009 Portable Senayan 3.6 (based on senayan3 stable7)
    14 Maret 2009 Portable Senayan 3.7 (based on senayan3 stable8)
    7 April 2009 Portable Senayan 3.8 (based on senayan 3 stable9)
    22 Juli 2009 Portable Senayan 3.9 (based on senayan3 sta ble10-patch1)
    17 Oktob er 2009 Portable Senayan 3.10 (based on senayan3 stable11)
    24 Novemb er 2009 Portable Senayan 3.11 (based on senayan3 stable12)
    24 Maret 2010 Portable Senayan 3.12 (based on senayan3 stable13-patch2)

Pada perkembangan berikutnya, sebagai bentuk penghargaan dan kebanggaan terhadap Indonesia, mulai Senayan3-stable14, rilis SLiMS menggunakan nama flora yang tumbuh di Nusantara. menggunakan nama-nama flora (tumbuhan) untuk nama kode slims. Seperti, Seulanga, Mato, Cendana, Akasia dan terakhir Bulian.


    24 Maret 2010 Portable Senayan 3.14 (based on senayan3 stable14/seulanga)
  
tampilan SLiMS 3 Matoa

  2011 Portable Senayan 3.15 (based on senayan3 stable15/matoa)
Setelah Senayan3-Stable15, SLiMS langsung melompat ke SLiMS-5 yang menggunakan codename MERANTI
tampilan SLiMS 5 Meranti
    2012 SLiMS Version 5.x codename Meranti
Tidak ada SLiMS versi 6 ya.....😁

Tampilan SLiMS 7 Cendana
    2013 SLiMS Version 7.x codename Cendana

Tampilan SLiMS 8 Akasia

    2020 SLiMS Version 8.x codename Akasia

Tampilan SLiMS 9 Bulian
    2021 SLiMS 9.x Bulian
    10 November 2022 SLiMS Bulian 9.5.0 (Release early 9.5.2)

4. Fitur dari SLiMS

Ada beberama modul atau menu dalam aplikasi, diantarannya:

  • Modul Pengatalogan (Cataloging Module)
  • Modul Penelusuran (OPAC/Online Public Access catalog Module)
  • Modul Sirkulasi (Circulation Module)
  • Modul Manajemen Keanggotaan (Membership Management Module)
  • Modul Inventarisasi Koleksi (Stocktaking Module)
  • Modul Statistik/Pelaporan (Report Module)
  • Modul Manajemen Terbitan Berseri (Serial Control)
Untuk melihat detail lebih lengkapnya, silahkan baca dokumentasi slimsnya.


Rangkuman

Latar belakang pengembangan SLiMS ialah,  Perangkat lunak Alice yang sudah habis masa pakainya dan departemen tidak memiliki anggaran untuk memperpanjang masa pakai selain itu Alice merupakan produk tidak bebas (proprietary) yang serba tertutup dan menggunakan sistem sewa sehingga Alice tidak dapat didistribusikan ke perpustakaan di lingkungan departemen.

SLiMS dikembangkan oleh Tim Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Program tersebut pertama kali dikembangkan pada bulan November 2006, dan di dirilis pertama kali November 2007, bertepatan dengan ulang tahun Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional yang ketiga. Kode awal (1.0) diberi nama kode "Senayan". Alasannya sederhana, karena awal dikembangkan di perpustakaan Depdiknas yang berlokasi di Senayan. 

  SLiMS dikembangkan dengan General Public License sehingga software tersebut dapat digunakan, dipelajari, diubah, dan didistribusikan ke pihak lain secara bebas.  Program tersebut menggunakan PHP, basis data MySQL, dan pengontrol versi Git. SLiMS terus dilakukan penyempurnaan pada program untuk menutupi ‘bolong-bolong’ dan bug yang ada.   Pada bulan November 2007 SLiMS mulai diluncurkan kepada publik agar program tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan-perpustakaan di Indonesia. Namun, setelah peluncurannya ternyata SLiMS masih mengalami kegagalan pada saat program tersebut dijalankan sehingga Hendro Wicaksono selaku Koordinator dari Senayan Developers Community) mengundang pustakawan yang aktif di Mailing List ISIS (perangkat lunak manajemen perpustakaan milik UNESCO) untuk melakukan perbaikan dalam segi penambahan fitur, perbaikan, dan pembaruan dokumen senayan. Selain melakukan pengembangan untuk menyempurnakan program yang ada, tim pengembang juga membuat paket program untuk memudahkan pemasangan yang dinamakan Portable Senayan (psenayan) yang meliputi program senayan, Apache, PHP, dan MySQL sehingga penggguna hanya perlu meng-copy, mengekstrak, dan langsung menggunakannya pada komputer atau server.

 Dengan dilakukannya pengembangan guna penyempurnaan program SLiMS memiliki banyak versi dan versi-versi tersebut selalu mengalami peningkatan karena dengan melakukan pengembangan maka program akan lebih stabil dan adanya dokumen program terbaru. Hingga saat ini SLiMS sudah berkembang dengan sangat pesat, adapun versi dari SLiMS yaitu SLiMS 3.14 (Seulanga), SLiMS 3.14 (Matoa), SLiMS 5 (Meranti), SLiMS 7 (Cendana), dan SLiMS 8 (Akasia), SLiMS 9 (Bulian). Penggunaan nama-nama flora di Indonesia karena para pengembang SLiMS berharap, rilisnya SLiMS dapat menjadi media pembelajaran bagi penggunanya untuk mengetahui seluk beluk flora di Indonesia yang namanya digunakan sebagai nama kode rilis SLiMS.